Dengan Belajar Kau Bisa Mengajar, Dengan Mengajar Kau Bisa Paham

Translate

Kamis, 17 Januari 2013

Pendekatan Pengelolaan Kelas



1)      Behavior – Modification Approach (Behaviorism Apparoach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa perilaku “baik” dan “buruk” individu merupakan hasil belajar. Upaya memodifikasiperilaku dalam mengelola kelas dilakukan melalui pemberian positive reinforcement (untuk membina perilaku positif) dan negative reinforcement (untuk mengurangi perilaku negatif). Kendati demikian, dalam penggunaan reinforcement negatif seyogyanya dilakukan secara hati-hati, karena jika tidak tepat malah hanya akan menimbulkan masalah baru.
Teori pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa penguasaan tingkah laku tertentu sejalan dengan usaha belajar yang hasil-hasilnya akan memperoleh ganjaran; bahwa penampilan tingkah laku yang dimaksudkan itu akan menghasilkan penguatan tertentu. Penguatan dipandang sebagai kejadian yang meningkatkan kemungkinan diulanginya penampilan perbuatan (tingkah laku) tertentu; dengan demikian perbuatan atau tingkah laku diperkuat. Tingkah laku yang diperkuat itu boleh berupa tingkah laku yang disukai ataupun yang tidak disukai. Dengan kata lain, jika tingkah laku tertentu diberi ganjaran, maka tingkah laku itu cenderung diteruskan.
Penguatan dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Pada umumnya penguatan itu berupa ganjaran yang diberikan kepada siswa yang menampilkan tingkah laku yang baik dengan harapan agar tingkah laku itu diteruskan. Pemberian ganjaran terhadap tingkah laku yang telah dikuasai oleh siswa itu disebut penguatan positif. Sebaliknya, penguatan negatif ialah penguatan yang dilakukan dengan jalan dikuranginya (atau ditiadakannya) hal-hal (perangsang) yang tidak menyenangkan (yang dikenakan terhadap siswa).
Penghukuman merupakan penggunaan perangsang yang tidak menyenangkan untuk meniadakan tingkah laku yang tidak disukai. Hukuman dianggap bermanfaat untuk segera menghentikan ditampilkannya tingkah laku yang tidak disukai sambil memberikan kepada guru waktu untuk melaksanakan sistem penguatan yang tepat bagi tingkah laku yang disukai. Banyak orang meragukan keefektifan hukuman itu dan memang penggunaan hukuman itu mengatasi masalah pengelolaan kelas masih diperdebat. Dalam kaitan dengan pemberian penguatan dan hukuman, pada penganut pendekatan pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa:
*      Mengabaikan tingkah laku yang tidak disukai dan memperlihatkan persetujuan atas tingkah laku yang disukai merupakan tindakan yang amat efektif untuk membina tingkah laku siswa didalam siswanya;
*      Memperlihatkan persetujuan atas tingkah laku yang disukai tampaknya merupakan kunci bagi pengelolaan kelas yang efektif. Pendekatan iklim sosio-emosional dibangun atas dasar pandangan bahwa pengelolaan kelas yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Hubungan guru-siswa terutama sekali dipengaruhi oleh: (1) Keterbukaan atau sikap tidak berpura-pura dari guru, (2) Penerimaan dan kepercayaan guru terhadap siswa-siswanya, dan (3) Empati guru terhadap siswa-siswanya. Guru yang ingin menerapkan pendekatan interpersonal juga perlu menyadari kenyataan bahwa cinta dan merasa diri berharga merupakan dua kebutuhan dasar yang hendaknya dimiliki (dirasakan) oleh siswa jika siswa itu hendak mengembangkan perasaan diri sukses. Siswa perlu memperoleh pengalaman sukses; oleh karena itu, guru hendaklah membuka kemungkinan sebesar-besarnya bagi para siswa untuk mencapai sukses. Lebih jauh, perlu diperhatikan juga bahwa bertindak atas dasar penghayatannya (persepsinya) tentang diri sendiri. Disamping itu, siswa juga perlu memandang diri sebagai individu yang berharga. Oleh karena itu semua siswa perlu dilayani dengan penuh penghargaan.
2)      Socio-Emotional Climate Approach (Humanistic Approach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan iklim sosio-emosional ini adalah bahwa proses belajar mengajar yang baik didasari oleh adanya hubungan interpersonal yang baik antara peserta didik – guru dan atau peserta didik – peserta didik dan guru menduduki posisi penting bagi terbentuknya iklim sosio-emosional yang baik.
Dalam hal ini, Carl A. Rogers mengemukakan pentingnya sikap tulus dari guru (realness, genuiness, congruence); menerima dan menghargai peserta didik sebagai manusia (acceptance, prizing, caring, trust) dan mengerti dari sudut pandangan peserta didik sendiri (emphatic understanding).
Sedangkan Haim C. Ginnot mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah, guru berusaha untuk membicarakan situasi, bukan pribadi pelaku pelanggaran dan mendeskripsikan apa yang ia lihat dan rasakan; serta mendeskripsikan apa yang perlu dilakukan sebagai alternatif penyelesaian.
Hal senada dikemukakan William Glasser bahwa guru seyogyanya membantu mengarahkan peserta didik untuk mendeskripsikan masalah yang dihadapi; menganalisis dan menilai masalah; menyusun rencana pemecahannya; mengarahkan peserta didik agar committed terhadap rencana yang telah dibuat; memupuk keberanian menanggung akibat “kurang menyenangkan”; serta membantu peserta didik membuat rencana penyelesaian baru yang lebih baik.
Sementara itu, Rudolf Draikurs mengemukakan pentingnya Democratic Classroom Process, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat memikul tanggung jawab; memperlakukan peserta didik sebagai manusia yang dapat secara bijak mengambil keputusan dengan segala konsekuensinya; dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menghayati tata aturan masyarakat.
Dalam pendekatan ini menekankan pentingnya guru berupaya sekuat-kuatnya membantu siswa menghindari kegagalan. Mereka percaya bahwa kegagalan akan melemahkan atau bahkan membunuh motivasi, menumbuhkan penghayatan negatif terhadap diri sendiri, meningkatkan kecemasan dan merangsang tumbuhnya tingkah laku yang menyimpang. Kelas harus dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan tempt dimana siswa-siswa merasa aman dan tentram, serta merasa memiliki kesempatan melakukan kesalahan dan menemukan kegagalan tanpa ancaman hukuman yang berat.
Pendekatan iklim sosio-emosional berakar dari pandangan yang mengutamakan hubungan guru-siswa yang penuh empati dan saling menerima. Pendekatan ini percaya bahwa iklim (suasana) kelas berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan guru memberikan pengaruh yang amat besar terhadap iklim tersebut. Dengan demikian, pendekatan ini menekankan pentingnya tingkah laku atau tindakan guru yang menyebabkan siswa memandang guru itu betul-betul terlibat dalam pembinaan siswa dan benar-benar memperhatikan suka-duka siswa. Apabila siswa bertingkah laku menyimpang, maka guru bertindak “memisahkan kesalahan dari orang yang berbuat salah”, tetap menerima siswa yang bersangkutan sambil sekaligus menolak perbuatannya yang menyimpang itu.
Dalam semua hal, fungsi guru ialah mengembangkan hubungan yang baik dengan setiap siswa. Implikasi pendekatan ini ialah bahwa siswa dipandang sebagai “keseluruhan pribadi yang sedang berkembang”, bukan semata-mata sebagai seorang anak yang sedang mempelajari pelajaran tertentu.
3)      Group Process Approach
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa pengalaman belajar berlangsung dalam konteks kelompok sosial dan tugas guru adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesif. Richard A. Schmuck & Patricia A. Schmuck mengemukakan prinsip – prinsip dalam penerapan pendekatan group proses, yaitu : (a) mutual expectations; (b) leadership; (c) attraction (pola persahabatan); (c) norm; (d) communication; (d) cohesiveness.
Penggunaan pendekatan proses kelompok dalam pengelolaan kelas didasarkan atas prinsip-prinsip psikologi sosial dan dinamika kelompok. Anggapan dasar yang dipakai ialah bahwa (1) kegiatan siswa di sekolah berlangsung dalam suatu kelompok tertentu, dan (2) kelas adalah suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana dimiliki oleh sistem sosial lainnya. Penggunaan pendekatan proses kelompok menekankan pentingnya ciri-ciri kelompok yang ada didalam kelompok kelas dan saling hubungan antar siswa yang menjadi anggota kelompok kelas itu. Dalam hal ini peranan guru yang paling utama ialah mengembangkan dan mempertahankan keeratan hubungan antar siswa, semangat produktivitas dan orientasi pada tujuan dari kelompok kelas ini. Demikianlah, tugas pertama guru ialah mengembangkan keeratan hubungan antar anggota kelompok kelas. Dalam hal ini ditekankan perlunya guru meningkatkan daya tarik dan ikatan kelompok bagi anggota-anggotanya dengan jalan menumbuhkan sikap saling menghargai dan mengembangkan komunikasi yang tepat antar anggota kelompok. Tugas kedua ialah membantu siswa mengembangkan aturan atau norma-norma kelompok yang produktif dan menyenangkan. Hal ini mencakup, misalnya pengembangan aturan bekerja yang dapat diterima oleh semua anggota. Sekali kelompok yang kompak dan produktif terbentuk, selanjutnya adalah tugas guru untuk mempertahankan kesatuan dan norma-norma kelompok itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar