1) Behavior
– Modification Approach (Behaviorism Apparoach)
Asumsi yang mendasari penggunaan
pendekatan ini adalah bahwa perilaku “baik” dan “buruk” individu merupakan
hasil belajar. Upaya memodifikasiperilaku dalam mengelola kelas dilakukan
melalui pemberian positive reinforcement (untuk membina perilaku
positif) dan negative reinforcement (untuk mengurangi perilaku negatif).
Kendati demikian, dalam penggunaan reinforcement negatif seyogyanya dilakukan
secara hati-hati, karena jika tidak tepat malah hanya akan menimbulkan masalah
baru.
Teori pengubahan tingkah laku
berpendapat bahwa penguasaan tingkah laku tertentu sejalan dengan usaha belajar
yang hasil-hasilnya akan memperoleh ganjaran; bahwa penampilan tingkah laku
yang dimaksudkan itu akan menghasilkan penguatan tertentu. Penguatan dipandang
sebagai kejadian yang meningkatkan kemungkinan diulanginya penampilan perbuatan
(tingkah laku) tertentu; dengan demikian perbuatan atau tingkah laku diperkuat.
Tingkah laku yang diperkuat itu boleh berupa tingkah laku yang disukai ataupun
yang tidak disukai. Dengan kata lain, jika tingkah laku tertentu diberi
ganjaran, maka tingkah laku itu cenderung diteruskan.
Penguatan dapat diberikan dalam
berbagai bentuk. Pada umumnya penguatan itu berupa ganjaran yang diberikan
kepada siswa yang menampilkan tingkah laku yang baik dengan harapan agar tingkah
laku itu diteruskan. Pemberian ganjaran terhadap tingkah laku yang telah
dikuasai oleh siswa itu disebut penguatan positif. Sebaliknya, penguatan
negatif ialah penguatan yang dilakukan dengan jalan dikuranginya (atau
ditiadakannya) hal-hal (perangsang) yang tidak menyenangkan (yang dikenakan
terhadap siswa).
Penghukuman merupakan penggunaan
perangsang yang tidak menyenangkan untuk meniadakan tingkah laku yang tidak
disukai. Hukuman dianggap bermanfaat untuk segera menghentikan ditampilkannya
tingkah laku yang tidak disukai sambil memberikan kepada guru waktu untuk
melaksanakan sistem penguatan yang tepat bagi tingkah laku yang disukai. Banyak
orang meragukan keefektifan hukuman itu dan memang penggunaan hukuman itu
mengatasi masalah pengelolaan kelas masih diperdebat. Dalam kaitan dengan
pemberian penguatan dan hukuman, pada penganut pendekatan pengubahan tingkah
laku berpendapat bahwa:
Mengabaikan tingkah laku yang tidak disukai dan
memperlihatkan persetujuan atas tingkah laku yang disukai merupakan tindakan
yang amat efektif untuk membina tingkah laku siswa didalam siswanya;
Memperlihatkan persetujuan atas tingkah laku
yang disukai tampaknya merupakan kunci bagi pengelolaan kelas yang efektif.
Pendekatan iklim sosio-emosional dibangun atas dasar pandangan bahwa
pengelolaan kelas yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang baik antara
guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Hubungan guru-siswa terutama sekali
dipengaruhi oleh: (1) Keterbukaan atau sikap tidak berpura-pura dari guru, (2)
Penerimaan dan kepercayaan guru terhadap siswa-siswanya, dan (3) Empati guru
terhadap siswa-siswanya. Guru yang ingin menerapkan pendekatan interpersonal
juga perlu menyadari kenyataan bahwa cinta dan merasa diri berharga merupakan
dua kebutuhan dasar yang hendaknya dimiliki (dirasakan) oleh siswa jika siswa
itu hendak mengembangkan perasaan diri sukses. Siswa perlu memperoleh
pengalaman sukses; oleh karena itu, guru hendaklah membuka kemungkinan
sebesar-besarnya bagi para siswa untuk mencapai sukses. Lebih jauh, perlu
diperhatikan juga bahwa bertindak atas dasar penghayatannya (persepsinya)
tentang diri sendiri. Disamping itu, siswa juga perlu memandang diri sebagai
individu yang berharga. Oleh karena itu semua siswa perlu dilayani dengan penuh
penghargaan.
2) Socio-Emotional
Climate Approach (Humanistic Approach)
Asumsi yang mendasari
penggunaan pendekatan iklim sosio-emosional ini adalah bahwa proses belajar
mengajar yang baik didasari oleh adanya hubungan interpersonal yang baik antara
peserta didik – guru dan atau peserta didik – peserta didik dan guru menduduki
posisi penting bagi terbentuknya iklim sosio-emosional yang baik.
Dalam hal ini, Carl A.
Rogers mengemukakan pentingnya sikap tulus dari guru (realness, genuiness,
congruence); menerima dan menghargai peserta didik sebagai manusia (acceptance,
prizing, caring, trust) dan mengerti dari sudut pandangan peserta didik
sendiri (emphatic understanding).
Sedangkan Haim C.
Ginnot mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah, guru berusaha untuk
membicarakan situasi, bukan pribadi pelaku pelanggaran dan mendeskripsikan apa
yang ia lihat dan rasakan; serta mendeskripsikan apa yang perlu dilakukan
sebagai alternatif penyelesaian.
Hal senada dikemukakan
William Glasser bahwa guru seyogyanya membantu mengarahkan peserta didik untuk
mendeskripsikan masalah yang dihadapi; menganalisis dan menilai masalah;
menyusun rencana pemecahannya; mengarahkan peserta didik agar committed terhadap
rencana yang telah dibuat; memupuk keberanian menanggung akibat “kurang
menyenangkan”; serta membantu peserta didik membuat rencana penyelesaian baru
yang lebih baik.
Sementara itu, Rudolf
Draikurs mengemukakan pentingnya Democratic Classroom Process, dengan
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat memikul tanggung jawab;
memperlakukan peserta didik sebagai manusia yang dapat secara bijak mengambil
keputusan dengan segala konsekuensinya; dan memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk menghayati tata aturan masyarakat.
Dalam
pendekatan ini menekankan pentingnya guru berupaya sekuat-kuatnya membantu
siswa menghindari kegagalan. Mereka percaya bahwa kegagalan akan melemahkan
atau bahkan membunuh motivasi, menumbuhkan penghayatan negatif terhadap diri
sendiri, meningkatkan kecemasan dan merangsang tumbuhnya tingkah laku yang
menyimpang. Kelas harus dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan tempt dimana
siswa-siswa merasa aman dan tentram, serta merasa memiliki kesempatan melakukan
kesalahan dan menemukan kegagalan tanpa ancaman hukuman yang berat.
Pendekatan
iklim sosio-emosional berakar dari pandangan yang mengutamakan hubungan
guru-siswa yang penuh empati dan saling menerima. Pendekatan ini percaya bahwa
iklim (suasana) kelas berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan guru memberikan
pengaruh yang amat besar terhadap iklim tersebut. Dengan demikian, pendekatan
ini menekankan pentingnya tingkah laku atau tindakan guru yang menyebabkan
siswa memandang guru itu betul-betul terlibat dalam pembinaan siswa dan
benar-benar memperhatikan suka-duka siswa. Apabila siswa bertingkah laku
menyimpang, maka guru bertindak “memisahkan kesalahan dari orang yang berbuat
salah”, tetap menerima siswa yang bersangkutan sambil sekaligus menolak
perbuatannya yang menyimpang itu.
Dalam semua
hal, fungsi guru ialah mengembangkan hubungan yang baik dengan setiap siswa.
Implikasi pendekatan ini ialah bahwa siswa dipandang sebagai “keseluruhan
pribadi yang sedang berkembang”, bukan semata-mata sebagai seorang anak yang
sedang mempelajari pelajaran tertentu.
3) Group Process Approach
Asumsi yang mendasari
penggunaan pendekatan ini adalah bahwa pengalaman belajar berlangsung dalam
konteks kelompok sosial dan tugas guru adalah membina dan memelihara kelompok
yang produktif dan kohesif. Richard A. Schmuck & Patricia A. Schmuck
mengemukakan prinsip – prinsip dalam penerapan pendekatan group proses, yaitu :
(a) mutual expectations; (b) leadership; (c) attraction
(pola persahabatan); (c) norm; (d) communication; (d) cohesiveness.
Penggunaan
pendekatan proses kelompok dalam pengelolaan kelas didasarkan atas
prinsip-prinsip psikologi sosial dan dinamika kelompok. Anggapan dasar yang
dipakai ialah bahwa (1) kegiatan siswa di sekolah berlangsung dalam suatu
kelompok tertentu, dan (2) kelas adalah suatu sistem sosial yang memiliki
ciri-ciri sebagaimana dimiliki oleh sistem sosial lainnya. Penggunaan
pendekatan proses kelompok menekankan pentingnya ciri-ciri kelompok yang ada
didalam kelompok kelas dan saling hubungan antar siswa yang menjadi anggota
kelompok kelas itu. Dalam hal ini peranan guru yang paling utama ialah
mengembangkan dan mempertahankan keeratan hubungan antar siswa, semangat
produktivitas dan orientasi pada tujuan dari kelompok kelas ini. Demikianlah,
tugas pertama guru ialah mengembangkan keeratan hubungan antar anggota kelompok
kelas. Dalam hal ini ditekankan perlunya guru meningkatkan daya tarik dan
ikatan kelompok bagi anggota-anggotanya dengan jalan menumbuhkan sikap saling
menghargai dan mengembangkan komunikasi yang tepat antar anggota kelompok.
Tugas kedua ialah membantu siswa mengembangkan aturan atau norma-norma kelompok
yang produktif dan menyenangkan. Hal ini mencakup, misalnya pengembangan aturan
bekerja yang dapat diterima oleh semua anggota. Sekali kelompok yang kompak dan
produktif terbentuk, selanjutnya adalah tugas guru untuk mempertahankan
kesatuan dan norma-norma kelompok itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar