Pengertian Weda
Sumber ajaran agama Hindu adalah
Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan
oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi
seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui
sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci
atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kata Veda
dapat dikaji melalui 2 pendekatan, yaitu berdasarkan etimologi (akar katanya) dan berdasarkan semantik (pengertiannya).
Weda secara ethimologinya berasal dari kata “Vid” (bahasa sansekerta), yang artinya
mengetahui atau pengetahuan. dan dari akar
kata ini berubah menjadi kata benda Veda yang artinya kebenaran, pengetahuan
suci, kebijaksanaan dan secara semantik berarti kitab suci yang mengandung
kebenaran abadi, ajaran suci atau kitab suci bagi umat Hindu. Maharsi Sayana
menyatakan bahwa Veda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang mengandung
ajaran yang luhur (trancendetal) untuk kesempurnaan umat manusia serta
menghindarkannya dari perbuatan jahat.
Winternitz dalam bukunya A History of Indian Literature, Volume I (1927) menyatakan bahwa kitab
suci Veda (Rg Veda) adalah monument dan susastra tertua di dunia. Ia menyatakan
: Bila kita ingin mengerti permulaan dari kebudayaan kita yang tertua, kita
harus melihat Rg Veda sebagai susastra tertua yang masih terpelihara. Sebab
pendapat apapun yang kita punyai mengenai susastra maka dapat dikatakan bahwa
Veda adalah susastra Timur tertua dan bersamaan dengan itu merupakan monumen
susastra dunia tertua.
Demikian pula Bloomfield dalam bukunya The Religion of Veda (1908) menyatakan bahwa Rg Veda
bukan saja monument tertua tetapi juga dokumen di Timur yang paling tua.
Susastra ini lebih tua dari Yunani maupun Israel dan memperlihatkan peradaban
yang tinggi di antara mereka yang mendapatkan di dalam pengungkapan dari
pemujaan mereka.
Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan
kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula
dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima
melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut
kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang
dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh
diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.
Bahasa Weda
Sebagai
wahyu Tuhan Yang Maha Esa maka timbul pertanyaan kepada kita, bahasa apakah
yang dipakai ketika wahyu itu turun dan demikian pula ketika Veda itu
dituliskan pertanyaan ini muncul karena bila merenung dan mengamati berbagai
kitab suci yang dikenal di dunia ini, maka bahasa yang dipakai adalah bahasa
yang digunakan pada tempat wahyu itu diturunkan. Demikian bila kita melihat
bahasa yang digunakan dalam Alquran adalah bahasa Arab, dan tentunya bahasa ini
adalah bahasa yang benar menurut mereka yang berbahasa Arab. Sebaliknya kitab
Injil yang merupakan kitan suci bagi umat Nasrani, bahasa yang digunakan
tentunya bukan bahasa Arab demikian pula bagi umat Hindu, bahasa kitab sucinya
berbeda dengan bahasa-bahasa kitan suci kedua agama tersebut di atas.
Memperhatikan hal itu, maka dapat disimpulkan bahwa wahyu itu diterima menurut
bahasa yang digunakan oleh mereka yang menerima wahyu itu dan para Rsi penerima
wahyu Veda menggunakan bahasa Sansekerta. Demikianlah maka seluruh wahyu Veda
menggunakan bahasa Sansekerta, dan bahkan bahasa untuk semua susastra Hindu
yang berkembang kemudian juga menggunakan bahasa Sansekerta.
Istilah bahasa Sansekerta adalah bahasa yang
dipopulerkan oleh Maharsi bernama Panini. Maharsi Panini pada waktu itu mencoba
menulis sebuah kitab Vyakarana (tata bahasa) yang kemudian terkenal dengan nama
Astadhyayi yang terdiri dari delapan Adhyaya atau bab yang mencoba mengemukakan
bahwa bahasa yang digunakan dalam Veda adalah bahasa dewa-dewa. Bahasa
dewa-dewa itu dikenal dengan ”Daivivak”.
Daivivak berarti bahasa atau ”sabda dewata”.
Kemudian atas jasa Maharsi Patanjali yang
menulis kitab ”Bhasa” dan merupakan buku kritik yang menjelaskan kitab Maharsi
Panini, yang ditulis pada abad ke II Sebelum Masehi makin terungkaplah nama
Daivivak untuk menamai bahasa yang digunakan dalam Veda dan bahasa yang
digunakan untuk penulisan karya sastra seperti Itihasa (Sejarah), Purana
(ceritra-ceritra kuna/mitologi).
Smrti (Dharmasastra), kitab-kitab Agama dan
Darsana yang muncul pada periode berikutnya yang juga menggunakan bahasa
Sansekerta. Bahasa sansekerta adalah bahasa yang umum dan digunakan sebagai
bahasa pergaulan pada jaman itu.
Penulis yang tampil sesudah Maharsi Panini
adalah Maharsi Katyayana. Katyayana hidup di abad ke V Sebelum Masehi,
sedangkan Maharsi Panini pada abad ke VI Sebelum Masehi. Katyayana dikenal pula
dengan nama Vararuci dan di Indonesia salah satu karya Maharsi Vararuci
Sarasmuccaya telah diterjamahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuno pada jaman Majapahit
yang silam. Melalui Katyayana inilah kita lebih banyak mengenal tentang Maharsi
Panini. Pengaruh kitab Astadhyayi karya Maharsi Panini sangat besar dalam
perkembangan bahasa Sansekerta. Dengan perkembangannya yang pesat sesudah
diturunkannya Veda kemudian para ahli Sansekerta membedakan bahasa Sansekerta
ke dalam 3 kelompok, yakni :
1.
Bahasa Sansekerta
Veda (Vedic Sanskrit) yakni bahasa
Sansekerta yang digunakan dalam Veda yang umumnya jauh lebih tua dibandingkan
dengan bahasa Sansekerta yang kemudian digunakan dalam berbagai susastra Hindu
seperti dalam Itihasa, Purana, Dharmasastra dan lain-lain.
2.
Bahasa Sansekerta
Klasik (Classical Sankrit), yakni
bahasa Sansekerta yang digunakan dalam karya sastra (susastra Hindu) seperti
Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Purana (18 Mahapurana dan 18 Upapurana),
Smrti (kitab-kitab Dharmasastra), kitab-kitab Agama (Tantra) dan Darsana yang
berkembang sesudah Veda.
3.
Bahasa Sansekerta
Campuran (Hybrida Sanskrit) dan untuk di
Indonesia oleh para ahli menamai Sansekerta Kepulauan (archipelago Sanskrit).
Baik Sansekerta campuran maupun Sansekerta Kepulauan keduanya ini tidak murni
menggunakan kosa kata atau tatabahasa Sansekerta sebagaimana digunakan dalam
dua pengelompokkan sebelumnya (Sansekerta Veda dan Sansekerta Klasik). Contoh
dari Sansekerta Campuran dapat dijumpai di India terutama pada masyarakat yang
tidak menggunakan bahasa Sansekerta (kini menjadi bahasa Hindi) seperti di
India Timur dan Selatan, sedang di Indonesia dapat kita lihat dari Stuti, Stava
atau puja yang digunakan oleh para pandita di Bali.
Dalam mempelajari Veda dan susastra Hindu yang
lain, pengenalan terhadap bahasa Sansekerta sangat diperlukan dan bagi kita di
Indonesia disamping mengenal bahasa Sansekerta juga sangat baik untuk memahami
pula bahasa Jawa Kuno sebab tanpa mengenal ke dua bahasa ini kurang lengkap
pengetahuan kita tentang susastra Hindu baik yang menggunakan bahasa sansekerta
maupun Jawa Kuno.
Timbul pertanyaan apakah dalam mempelajari
agama Hindu terutama dalam mengucapkan doa apakah mutlak harus menggunakan
bahasa Sansekerta ? sebenarnya hal ini tidaklah mutlak, sebab dalam doa yang
terpenting adalah diucapkan dengan khusuk, dalam doa kita dapat menggunakan
bahasa ibu kita, tetapi bila kita mengucapkan mantra-mantra berbahasa
sansekerta, maka pengenalan terhadap bahasa ini sangat diharapkan. Tentang
pengucapan mantra, kitab Nirukta (I.18) menyatakan :
”Seseorang yang mengucapkan mantra (Veda)
tidak mengerti makna yang terkandung dalam mantra (Veda) itu, tidak memperoleh
penerangan rohani, seperti sebatang kayu bakar yang disiram minyak tanah, tidak
pernah terbakar bila tidak terdapat api. Demikianlah orang yang hanya
mengucapkan (membaca), tidak mengetahui arti/makna mantra (Veda), tidak
memperoleh cahaya pengetahuan sejati”.
Penyelidikan terhadap bahasa Sansekerta di
Barat telah mulai sejak permulaan abad ke XVII dan motifnya tidaklah murni pada
waktu itu, tetapi didorong oleh keinginan untuk menyebarkan missi agama
Kristen. Hal ini dibuktikan dengan tulisan-tulisan Dr. Max Muler pada tahun
1886. Ahli-ahli bangsa Barat yang banyak berkecimpung di dalam mempelajari bahasa
Sansekerta, antara lain : Max Muller, Weber, Buhler, Sir William Jones, H.T.
Colrebrooke, Keilharn, Grimm, Grassmann, Jesperson, C. Wilkin, A. Roger,
Griffith, Mac Donald, William Monier, Hillebrant dan sebagainya. Di Indonesia
usaha menerjamahkan karya Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno telah lama
dirintis di Jawa Tengah dan Timur pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu
Nusantara termasuk pula di Bali.
Umur Kitab Suci
Weda
Umat Hindu meyakini bahwa
Veda bersifat ”Anadi-Ananta” yang artinya tidak berawal dan tidak
berakhir dalam pengertian waktu. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum itu atau
tidak ada sesuatu yang lebih awal dari Veda. Veda berarti sudah ada sebelum
pengertian waktu itu ada. Bagaimana hal itu bisa diterima ? Di dalam Veda kita
jumpai beberapa ”Sukta” yang menyebutkan nama Rsi, misalnya
”Agastyo-Maitra-Varuni”, yaitu agastya putra Mitra dan Varuna. Bila demikian
halnya apakah Sukta itu dikarang oleh Agastya ? Hal ini tidak dapat dijadikan
bukti bahwa sebalum Agastya mantra Veda itu belum ada. Kemudian bagaimana kita
menyatakan bahwa Veda itu bersifat Anadi atau tanpa awal ? Namun fakta
membuktikan bahwa mantra Veda itu tidak disusun oleh para Rsi dan Rsi bukanlah
pembuat mantra atau mantrakarta”, Rsi adalah ”Na mantrakarta”, tetapi
”Mantradrastah”, yang mendapatkan mantra.
Baiklah, bila para Rsi menemukan mantra Veda,
dimanakah mantra itu berada sebelumnya ? Bila disebut Anadi ini berarti mantra
itu selalu ada disana. Umat Hindu yakin bahwa ciptaan Tuhan Yang Maha Esa itu
bagaikan sebuah lingkaran, Anadi tanpa awal dan bersifat abadi. Pada setiap
”Kalpa” (sehari Brahma = 4.320.000.000, tahun manusia) tercipta alam semesta
baru menggantikan alam semesta sebelumnya yang telah ”Pralaya”. Pada setiap
penciptaan, Brahma melakukan meditasi (masa ini disebut ”Svetavarahakalpa”) dan
Tuhan Yang Maha Esa (Brahman) muncul dalam wujud ”Omkara”, disebut juga
”Pranava”, dan daripadanya pula muncul alam semesta, Rg Veda, Yajur Veda,Sama
Veda dan Atharva Veda. Veda adalah nafas-Nya, oleh karena itu Veda telah ada
pada saat Brahman ada, sebelum alam semesta diciptakan. Tentang hal ini,
Brhadarnyaka Upanisad menyatakan :
”Sa yathardraidhagner abhyahitat prtag
viniscaranti, evam va are’symahato bhutasya nihsvasitam, etad yad rgvedo
yajurvedah samavedo’tharvangirasa itihasah puran avidya upanisadah slokah
sutrany anuvyakhyani vyakhyani asyaivaitani sarvani nihsvasitani”.
Brhadaranyaka Upanisad II.4.10
(Seperti juga sinar api yang dihidupkan
dengan minyak campur air, berbagai asap akan keluar dan menyebar, begitu juga
Rg Veda, Yajurveda, Samaveda, Ahtarvaveda (Ahtarvangirasa), Itihasa, Purana dan
ilmu pengetahuan, Upanisad, sloka, sutra (aphorisme), penjelasan,
komentar-komentar. Dari pada-Nya semuanya dinafaskan).
Dapatkah kita hidup tanpa nafas ? Demikian pula
halnya Veda disebut ”Anadi-ananta”. Perlu ditekankan bahwa kita tidak menemukan
penjelasan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan Veda, karena memang Veda tidak
terpisahkan denganNya. Demikian pula halnya kita tidak bisa menciptakan nafas,
karena nafas ada bersama dengan hidup kita. Demikian analogi antara Tuhan Yang
Maha Esa dengan Veda.
Tentang kapan diturunkannya Veda atau
kapankah para Rsi menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang kemudian kita kenal
dengan nama Veda tidaklah dapat diketahui dengan pasti. Berbagai pendapat para
sarjana baik di Barat maupun di Timur semuanya tidaklah sama. Perlu juga
ditandaskan di sini bahwa Veda pada mulanya diterima secara lisan dan
disampaikan pula secara lisan mengingat pada waktu Veda diturunkan itu belum
dikenal tulisan. Jadi bahasa lisan lebih dulu digunakan baru kemudian ketika
tulisan ditemukan mantra-mantra Veda dituliskan kembali dan tentang penulisan
kembali ini, secara tradisional berdasarkan kitab-kitab Purana, Maharsi Vyasa
atau Krsnadvaipayanalah yang menyusun atau menuliskan kembali ajaran Veda dalam
4 himpunan (samhita) dibantu oleh 4 orang siswanya, yatu Pulaha atau Paila,
diyakini menyusun Rg Veda, Vaisampayana, menyusun Yajurveda, Jaimini menyusun
Samaveda dan Sumanti menyusun Atharvaveda. Kembali tentang kapan wahyu Veda
diterima oleh para ahli berpendapat :
1.
Vidyaranya
menyatakan sekitar 15.000 tahun Sebelum Masehi.
2.
Lokamanya Tilak
Shastri menyatakan 6.000 tahun Sebelum Masehi.
3.
Bal Gangadhar Tilak
menyatakan 4.000 tahun Sebelum Masehi.
4.
Dr. Haug memperkirakan
tahun 2.400 tahun Sebelum Masehi.
5.
Max Muller
menyatakan sekitar 1.200-800 tahun Sebelum Masehi.
6.
Heina Gelderen
memperkirakan 1.150-1.000 tahun Sebelum Masehi.
7.
Sylvain Levy
memperkirakan 1.000 tahun Sebelum Masehi.
8.
Stutterheim
memperkirakan 1.000-500 tahun Sebelum Masehi.
Demikian pendapat para sarjana memperkirakan
mengenai masa diturunkannya wahyu Veda yang sudah sangat tua dan sampai kini
ajaran Veda masih relevan menjadi sumber ajaran agama Hindu dan senantiasa
menjadi pegangan bagi umat Hindu.
Maharsi
Penerima Wahyu
Sepintas telah dijelaskan
tentang para Rsi menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang kemudian terhimpun
dalam kitab suci Veda. Dalam agama Hindu orang-orang suci penerima wahyu
disebut Rsi, kata ini mengandung
pengertian yang memandang, melihat atau yang memperoleh wahyu Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam perkembanganya kita jumpai berbagai sebutan terhadap orang-orang
suci antara lain : Muni, Sadhu, Swami, Yogi, Sannyasi, Acarya, Upadhyaya dan
lain-lain dan di Indonesia pada jaman dahulu kita mengenal istilah Mpu atau
Bhujangga, kini para Pandita dari golongan Vaisnava di Bali disebut pula dengan
Rsi. Untuk membedakan Rsi penerima wahyu Veda dengan Rsi para pandita dewasa
ini, maka untuk yang pertama disebut Maharsi.
Maharsi ini dapat disebut sebagai nabi bagi umat Hindu dan jumlahnya tidaklah
seorang, melainkan cukup banyak.
Seorang Maharsi adalah tokoh
pemikir dan pemimpin agama, ia juga seorang ”Jnanin”, filosuf dan pejuang dalam
bidang agama. Ia adalah penyebar ajaran agama dan sekaligus moralis, pendeknya
guru dengan berbagai sifat istimewanya yang serba mulia. Ia rendah hati dan
tahan uji, ia memiliki pandangan yang luas dan mampu menatap masa depan, mampu
mengendalikan indrianya, suka melakukan tapa, brata, yoga, samadhi, karena itu
ia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai pemimpin
agama ia adalah pengayom yang memberikan keteduhan dan kesejukan kepada siapa
saja yang datang untuk memohon bimbingannya.
Dengan sifat-sifat
tersebut di atas, seorang Rsi adalah seorang rohaniawan, agamawan dan sekaligus
seorang pemimpin. Di dalam kitab-kitab Purana kita jumpai pengelompokkan Rsi ke
dalam 3 katagori, yaitu :
1.
DevaRsi,
2.
BrahmaRsi,
3.
RajaRsi.
Dengan adanya Rsi ke dalam tiga kelompok itu,
secara tidak langsung kita mengetahui bahwa tidak semua Rsi berstatus sebagai
”penerima wahyu”. Pengertian Rsi pada mulanya dipergunakan secara tradisional
yang dianggap mampu membongkar rahasia Veda. Keterangan ini dapat kita jumpai
dalam kitab Nirukta II.11, salah satu kitab Vedangga, yang menyatakan : ”Bahwa para Rsi ialah mereka yang memperoleh
mantra (rsayah mantradrastarah)”, sebagai telah kami kutipkan pada awal
dari uraian tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi Rsi itu ada
kaitannya dengan penerimaan mantra, hal ini semakin jelas bila kita membaca
seuah Sukta (hymne) dalam Veda yang menyebutkan : Rsi, Devata dan Chanda,
sebagai contoha dalah sukta pertama (Pratamasukta) dari Rg Veda yang terdiri
dari Rsi : Vaisvamitra dan Madhucchanda, devata : Agni dan Chanda : Gayatri.
Pengakuan tentang adanya banyak Rsi atau nabi, bukanlah monopoli agama Hindu.
Di dalam Al Qur’an pun diakui bahwa jauh sebelum nabi Muhammad, telah dikenal
sejumlah nabi. Kita tidak mempersoalkan mengapa demikian banyaknya Rsi dalam
Hindu, karena pada hakekatnya Tuhan Yang Maha Esa menggunakan banyak media
untuk menyampaikan ajaran suci-Nya kepada umat manusia. Hindu berpandangan
justru dengan banyaknya Rsi itu umat mendapatkan teladan, figur dan
penampilannya menjadi panutan, wejangan-wejangannya memberikan kesejukan hati
dan kebahagiaan yang tiada taranya, misalnya karya Maharsi Vyasa yang memadukan
unsur sejarah dan mitologi dalam karya besarnya Mahabharata dan kitab-kitab
Purana senantiasa dinikmati oleh mereka yang kehausan untuk mereguk amrta suci
ajarannya.
Disamping pengelompokan ke dalam 3 katagori
tersebut di atas, kitab Matsya Purana dan Brahmanda Purana menyebutkan 5
kelompok Rsi, sebagai berikut :
1.
BrahmaRsi,
2.
SatyaRsi,
3.
DevaRsi,
4.
SrutaRsi,
5.
RajaRsi.
Pengelompokkan ini merupakan penyempurnaan
pengelompokan sebelumnya dengan menambahkan 2 kelompok baru, yaitu SatyaRsi dan
SrutaRsi. Dari istilah-istilah ini dapat dipahami bahwa nama-nama kelompok ini
hanya bersifat relatif fungsional dihubungkan dengan fungsi dan sifat yang khas
dari seorang Rsi.
Selanjutnya perlu kita tinjau lebih jauh
kaitan seorang Rsi dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Seorang Rsi sebagai
Brahmana, sebagai guru dan sebagai Bhatara (yang memberikan perlindungan). Kata
Brahmana adalah istilah umum yang digunakan dalam Veda sebagai gelar untuk
menamakan fungsi seseorang sebagai pemimpin upacara agama. Seorang Rsi karena
pengetahuannya dapat berfungsi sebagai pemimpin dalam melaksanakan upacara
agama, karena itu ia adalah seorang Brahmana. Demikian pula karena memiliki
kemampuan untuk mengajarkan dalam rangka penyebar luasan ajaran Veda dan
Dharma, maka secara fungsional ia adalah seorang guru. Di dalam
Manavadharmasastra disebutkan adanya beberapa jenis guru, demikian pula halnya
dengan Brahmana. Seorang guru disebut Acarya, Mahcarya atau Upadhyaya, tetapi
guru ini belum tentu seorang Rsi. Seorang disebut Acarya bila ia telah
menguasai seluruh isi Veda, termasuk Itihasi, Purana, Vedangga, dan kitab-kitab
susastra Hindu yang lain. Sebaliknya seorang Upadhyaya, hanya dianggap cukup bila
ia menguasai Vedangga. Selanjutnya seorang Rsi sebagai Bhatara (pelindung)
sekaligus seorang pemimpin baik dalam bidang kerohanian, politik dan
pemerintahan dan bahkan menjadi panglima perang sebagai contoh adalah Rsi
Bhisma, Drona dan sebagainya, di Bali pada masa pemerintahan Dharma Udayana
Varmadeva, juga seorang Rsi atau Mpu, yakni Mpu Rajakrta menjabat Senapati
Kuturan dan kemudian nama ini populer menjadi Mpu Kuturan yang merintis
Kahyangan Tiga dengan Desa Pakraman di daerah ini. Seorang Brahma Rsi menurut
kitab Brahmanda Purana tugasnya mempelajari dan mengajarkan Veda, jadi
fungsinya sebagai pandita. Adapun seorang yang dinyatakan sebagai Satya Rsi
adalah gelar para Rsi yang mempunyai asal-usul langsung dari Tuhan Yang Maha
Esa pada permulaan penciptaan dunia ini. Beliau pula yang mula-mula disebut
sebagai Bhatara, misalnya Bhatara Manu dan lain-lain. Kelompok DevaRsi dikenal
pula dengan nama Prajapati. Di dalam kitab brahmanda Purana disebutkan adanya 9
Prajapati, yaitu : Marici, Bhrgu, Angira, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri
dan Vasistha. Di antara 9 Prajapati itu ada pula yang disebut-sebut namanya
dalam kitab Rg Veda, sebagai Rsi yang dikaitkan dengan mantra-mantra dalam
kitab suci ini. Adapun 4 kelompok lainnya (Brahma, Satya, Sruta dan RajaRsi)
did alam Brahmanda Purana masing-masing disebutkan berturut-turut : Sonaka,
Sananda, Sanatana dan Sanatkumara.
Disamping nama-nama yang telah disebutkan di
atas, terdapat pula keterangan lain yang menyebutkan kelompok ”Sapta Rsi”
penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam Veda. Menurut
kitab-kitab Purana maupun Manavadharmasastra, nama-nama Sapta Rsi dikaitkan
dengan jangka waktu tertentu. Satu jangka waktu atau Yuga manusia dibimbing
oleh adanya Sapta Rsi disamping Rsi-Rsi lainnya. SaptaRsi atau Sapta Maharsi ini merupakan pengembala utama umat
manusia dan penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun SaptaRsi dan keluarga
(Gotra) dari Sapta (Maha) Rsi, yang paling banyak disebut adalah : Grtsamada,
Visvamitra, Vamadeva, Atri, Bharadvaja, Wasistha dan Kanva. Untuk mengenal
lebih jauh tentang masing-masing dari para Rsi itu serta kaitannya dengan
turunnya Veda dapat dijelaskan hal-hal penting sebagai berikut :
a. Rsi Grtsamada
Maharsi Grtsamada adalah Maharsi yang banyak
dihubungkan dengan turunnya mantra-mantra Veda, terutama Rg Veda mandala II.
Hanya sayangnya sejarah kehidupan Maharsi Grtsamada ini tidak banyak diketahui.
Dari beberapa catatan diketahui bahwa Grtsamada adalah keturunan dari
Sunahotra, keluarga Angira, adapula penjelasan lain yang menyatakan bahwa
Grtsamada adalah keturunan Bhrgu. Dengan demikian sejarahnya tidak diketahui
dengan pasti, sedang di dalam Mahabharata, ia disebutkan keturunan Maharsi
Sonaka. Sunahotra tersebut di atas, dinyatakan sebagai keturunan Bharadvaja.
b. Rsi Visvamitra
Maharsi Visvamitra adalah Maharsi yang kedua
yang banyak disebut-sebut namanya dan dikaitkan dengan seluruh mandala III Rg
Veda. Kitab mandala III Rg Veda ini terdiri dari 58 Sukta. Setelah diadakan
penelitian, ternyata tidak semua Sukta itu dikaitkan dengan nama Visvamitra
karena diantara mantra-mantra itu ada menyebutkan Maharsi lainnya, seperti
Kusika, Isiratha dan lain-lain. Visvamitra adalah putra Rsi Musika. Apakah
dengan disebutkan beberapa nama itu nama Visvamitra ada kaitannya dengan nama
keluarga atau nama pribadi. Atau apakah ada hubungan darahantara Visvamitra
dengan Isiratha ? Semuanya ini masih memerlukan penelitian. Disamping itu
dijumpai pula nama Rsi Jamadagni sebagai Maharsi yang dikaitkan dengan mandala
III Rg Veda. Keterangan lain tentang Visvamitra, dinyatakan bahwa Visvamitra
bukan seorang Brahmana tetapi seorang Ksatria. Penggolongan status seorang Rsi
dengan Catur Varna itu sesungguhnya tidak begitu menentukan karena bukan
merupakan prasyarat seorang Maharsi.
c. Rsi Vamadeva
Maharsi Vamadeva banyak dihubungkan dengan
mandala IV kitab Rg Veda. Kurang banyak diketahui tentang riwayat Maharsi ini.
Di dalam kitab-kitab Purana diceritakan bahwa Vamadeva sempat mengadakan dialog
dengan deva Indra dan Aditi, suatu hal yang tidak dapat dibayangkan oleh
pikiran kita, kecuali kita memberikan penafsiran bahwa maksudnya adalah untuk
menjelaskan bahwa Vamadeva memperoleh kesempurnaan selagi beliau masih muda.
Maharsi Vamadeva disebut memberikan petunjuk untuk mencapai kesempurnaan sejati.
d. Rsi Atri
Maharsi Atri pada umumnya banyak dikaitkan
dengan turunnya mantra-mantra mandala V Rg Veda. Sayang sekali kita tidak
mengenal banyak tentang Maharsi ini. Di dalam Matsya Purana, nama Atri tidak
saja sebagai nama keluarga, tetapi juga sebagai nama pribadi. Dinyatakan bahwa
dalam keluarga Atri yang tergolong Brahmana dijumpai pula beberapa nama dari
keluarga Atri seperti : Saryana, Udvalaka, Sona, Sukratu, Gauragriva dan
lain-lain. Dalam cerita lainnya dikemukakan pula informasi bahwa Maharsi Atri
banyak dikaitkan dengan keluarga Angira. Bila kita baca dengan teliti Rg Veda
mandala V, tampaknya tidak hanya Maharsi Atri yang menerima wahyu untuk mandala
ini, tetapi juga Druva, Prabhuvasu, Samvarana, Gauraviti, Putra Sakti dan
lain-lain. Apakah nama-nama ini ada kaitannya dengan Maharsi Atri, masih perlu
dikaji kembali. Dikemukakan pula bahwa di antara keluarga Atri, 36 Rsi
tergolong penerima wahyu. Jadi cukup banyak dan karena itu kemungkinan
nama-nama itu adalah keturunan dari Maharsi Atri.
e. Rsi Bharadvaja
Rsi Bharadvaja adalah Maharsi yang banyak
dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra dari Mandala VI, kecuali ada beberapa
saja yang diturunkan melalui Sahotra dan Sarahotra. Adapun nama-nama lain,
seperti Nara, Gargajisva adalah nama Rsi penerima wahyu dari keluarga
Bharadvaja. Did alam kitab-kitab Purana dijelaskan bahwa Bharadvaja adalah
putra Brihaspati, cerita ini belum dapat dipastikan kebenarannya karena
disamping keterangan lain yang mengatakan bahwa Samyu dengan Bharadvaja masih
dalam satu keluarga. Kitab-kitab Purana tidak banyak memberikan penjelasan.
f. Rsi Vasistha
Nama Vasistha sering digunakan sebagai nama
keluarga kadang kala sebagai nama pribadi. Rsi Vasistha banyak dikaitkan dengan
turunnya mantra-mantra mandala VII Rg Veda. Salah seorang keturunan Rsi
Vasistha adalah Rsi Sakti yang juga terkenal sebagai penerima wahyu. Tentang
keluarga Vasistha ini tidak banyak kita kenal. Di dalam kitab Mahabharata nama
Vasistha disamakan dengan Visvamitra. Di dalam kitab Matsya Purana, dinyatakan
bahwa Rsi Vasistha mengawini Arundhati, saudara perempuan Devarsi Narada. Dari
padanya lahir seorang putra bernama Sakti.
g. Rsi Kanwa
Maharsi Kanwa merupakan Maharsi penerima
wahyu dan banyak dikaitkan dengan mandala III Rg Veda. Mandala ini isinya bermacam-macam
Sukta. Kanva adalah nama pribadi dan juga nama keluarga. Mandala VIII
dinyatakan diterima oleh keluarga Sakuntala. Disamping Rsi Kanva terdapat pula
nama-nama Rsi lainnya seperti Kasyapa, putra Marici. Maharsi Kanva mempunyai
putra bernama Praskanva. Nama-nama Rsi yang lain yang juga dapat dijumpai dalam
mandala VIII adalah: Gosukti, Asvasukti, Pustigu, Bhrgu, Manu, Vaivasvata,
Niopatithi dan sebagainya. Adapun mandala IX dan X Rg Veda merupakan mandala
yang paling lengkap. Mandala ini memuat pokok-pokok ajaran agama Hindu yang
sangat penting dan sangat bermanfaat untuk diketahui. Disamping nama-nama Rsi
sebagai telah dikemukakan di atas, tampaknya penggunaan Rsi itu telah cukup
merasuk sampai ke Bali. Dalam mempelajari perkembangan agama Hindu di daerah
ini, kita jumpai pula tokoh-tokoh yang juga disebut Sapta Rsi yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan agama Hindu. Apakah ini suatu kebetulan atau memang
secara konsepsional diprogramkan kini kita warisi adanya Panca Rsi seperti :
Mpu Agnijaya, Mpu Kuturan, Mpu Sumeru, Mpugana dan Mpu Bharadah.
Disamping
ketujuh maharsi itu dikenal pula adanya 29 orang Maharsi penerima wahyu dan
mereka itu terkenal dengan sebutan Nawawimsati
krtya ca Veda vyastha Mahasibhih yaitu Maharsi Swasyambhu, Daksa, Usana,
Wrhaspati, Aditya, Mrtyu, Indra, Wasistha, Saraswata, Tridathu, Tridrta,
Sandhyaya, Akasa, Dharma, Tryaguna, Dhananjaya, Krtyaya, Ranajaya, Bharadwaja,
Gotama, Uttama, Parasara, dan Maharsi Wyasa. Menurut tradisi Hindu, Maharsi
terbesar dan sangat banyak berjasa dalam menghimpun dan mengkodifikasikan Weda
adalah Maharsi Wyasa. Maharsi inilah yang mengkodifikasi Catur Weda Samhita
yang dibantu oleh empat orang siswanya, yaitu:
a)
Maharsi Paila
atau yang disebut pula Pulaha adalah penyusun Reg Weda Samhita.
b)
Maharsi
Waisampayana disebut sebagai penyusun Yajur Weda Samhita.
c)
Maharsi Jaimini
disebut sebagai penyusun Sama Weda Samhita.
d)
Maharsi Sumantu
disebut sebagai penyusun Atharwa Weda Samhita.
Disamping sebagai penghimpun kembali Catur
Weda Samhita, Maharsi Wyasa atau Krsnadvaipayana
juga menyusun kitab Mahabharata, Bhagawad Gita, dan Brahmasutra.
Pembagian
dan Isi Weda
Kelompok kitab Weda atau Sruti menurut sifat isinya dapat
dibedakan atas empat bagian, yaitu :
1.
Samhita, yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung
Upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan-ucapan syukur, petunjuk upacara
korban), ajaran filsafat dan lain-lain.
2.
Brahmana, yakni uraian yang panjang tentang ketuhanan/teologi
teristimewa observasi tentang jalannya upacara korban atau mistis dari upacara
korban yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun upacara-upacara besar
lainnya.
3.
Aranyaka dan
Upanisad. Yang pertama berarti buku
hutan dan yang kedua artinya ajaran yang bersifat rahasia, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kitab-kitab ini.
Kitab mantra atau mantra samhita umurnya sangat tua.
Kitab ini ditulis dalam bentuk syair atau prosa liris, bahasanya sansekerta
Weda (Weda Samskirt), yaitu jenis bahasa sansekerta yang tertua. Syair-syair
tersebut terkumpul dalam 4 himpunan mantra yang masing-masing disebut “Samhita”
Ada empat jenis Samhita yang masing-masing menunjukkan perbedaan tajam yang
sampai kepada kita dalam satu atau lebih resensi, yakni :
1.
Rg Veda Samhita, yakni himpunan rc atau rk. Rg Veda artinya pengetahuan
suci yang berhubungan dengan Veda akan menjadi Rg Veda (tidak Rkveda) sesuai
hukum bahasa Sansekerta. Reg Weda terdiri dari 10.552 mantra. Isinya adalah
syair-syair pujaan. Reg Weda adalah Weda yang tertua dan yang terpenting.
Isinya terbagi atas 10 mandala atau buku. Mandala kesepuluh adalah mandala yang
terpenting, karena menunjukkan kebenaran yang mutlak. Pendeta Reg Weda disebut
Hotr (Hotri).
2.
Yajurveda Samhita, yakni himpunan mantra Yajus yang memuat doa-doa pujaan,
pengetahuan suci tentang upacara korban (yajus bentuk jamaknya yajumsi). Yajur
Weda ini terdiri dari 1. 975 mantra. Beberapa di antaranya mantra-mantra itu
ada yang berbentuk prosa liris. Jenis Weda ini ada dua macam, yaitu :
a) Krisna Yajurveda Samhita (Yajurveda hitam)
yang tersedia dalam berbagai resensi dan Taittiriya Samhita dan Maitrayani
Samhita merupakan resensi yang sangat penting. Mantra Yajur Weda ini
menguraikan tentang arti dari upacara itu sendiri.
b) Sukla Yajurveda Samhita (Yajurveda Putih)
yang tersedia adalah Vajasanevi Samhita (Wijasaneyi Samhita). Mantra Yajur Weda
ini diucapkan sebagai doa-doa dalam suatu upacara.
Pendeta penyanyi Yajur Weda itu
disebut Adwaryu
3.
Samaveda Samhita, yakni himpunan mantra Saman, pengetahuan atau menembangkan
mantra-mantra Veda, yang isinya merupakan nyanyian pujaan yang dinyanyikan pada
waktu upacara. Sama Weda, terdiri dari 1.875 mantra.
Kata Sama berarti irama atau
melodi. Pendeta penyanyi Sama Weda disebut Udgatr
(Udgatri) atau dinamakan pula Udgatra.
4.
Atharvaveda
Samhita, yakni himpunan dari
Atharvan, pengetahuan suci yang memberikan manfaat berhubungan dengan kehidupan
di dunia ini. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra. Diantara mantra-mantra
itu banyak yang berbentuk prosa. Isinya ialah tuntunan hidup sehari-hari yang
berhubungan dengan hidup keduniawian. Banyak mantranya itu yang bersifat magis.
Pendeta penyanyi Atharwa Weda disebut Brahmana.
Kitab-kitab
Brahmana memuat ajaran dan kewajiban-kewajiban hidup beragama. Kewajiban ini
antara lain adalah kewajiban untuk melakukan upacara korban atau yadnya. Setiap
kitab Weda memiliki kitab Brahmananya sendiri-sendiri, kitab Reg Weda memiliki
kitab Brahmana 2 buah, yaitu: Aetareya
Brahmana dan Kausitaki Brahmana yang juga disebut Sankhyana Brahmana. Kitab
yang pertama dikatakan terbagi atas 40 bab sedangkan kitab yang kedua terdiri
atas 30 bab. Kitab Sama Weda memiliki beberapa kitab Brahmana, yaitu : 1)
Tandya Brahmana (Panca Wirusa) kitab ini memuat legenda yang ada kaitannya
dengan upacara yadnya. 2) sadwirusa Brahmana, kitab ini terdiri dari 25 buku,
sedangkan yang terakhir atau yang ketiga disebut Adbhuta Brahmana yang memuat
berbagai macam ramalan dan penjelasan berbagai ilmu gaib. Kitab Yajur Weda
memiliki 2 kitab Brahmana yang sampai kepada kita yaitu:1) Taittiriya Brahmana
(Milik Kresna YajurWeda), dan 2)Saptatha Brahmana (milik Sukla Yajur Weda) atau
Yajur Weda Putih. Kitab Atharwa Weda
memiliki kitab Gopatha Brahmana.
Kitab Aranyaka merupakan
kelanjutan dari kitab Brahmana. Atas dasar ini pulalah rupanya ada beberapa
kitab Brahmana dari Reg Weda bertafsirkan Aetareya Arunyaka, seperti : Aetareya
Brahmana dari RegWeda bertafsirkan Tandya Aranyaka, Satapatha Brahmana dari
Sama Weda bertafsirkan Tandya Aranyaka, Satapatha Brahmana bertafsirkan Satapatha
Aranyaka dan Gopatha Brahmana dari kitab Atharwa Weda bertafsirkan Gopatha
Aranyaka. Kelompok kitab-kitab ini disebut rahasia karena isinya membahas
hal-hal yang bersifat sangat rahasia
Setiap Weda dari Catur Weda
itu dinyatakan memiliki kitab Upanisadnya sendiri-sendiri, yang perinciannya
adalan sebagai berikut:
a)
Upanisad yang
termasuk kelompok Reg Weda, yaitu Aitareya, Kaushitaki, Nada-Bindu,
Atmaprabodha, Nirwana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Saubhaya, dan Bahwrca
Upanisad. Jumlah semua kitab Upanisad yang termasuk jenis Reg Weda adalah 10
buah.
b)
Upanisad yang
tergolong jenis Sama Weda, yaitu Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Maitreyi,
Wajrasucika, Yogacudamani, Mahat, Sanyasa, Awyakta, Kondika, Sawitri,
Rudrasajabala, Darsana, dan Jabali Upanisad. Semuanya berjumlah 16 Upanisad.
c)
Upanisad
yang tergolong jenis Yajur Weda, yaitu :
-
Untuk jenis Yajur Weda Hitam, terdiri dari :
Kathawali, Taittiriyaka, Brahma, Kaiwalya, Swestaswatara, Garbha,
Narayana,Amrtabindu, Asartanada, Kalagnirudra, Kausika, Sukharahasya,
Tejobindu, Dhayanabindu, Brahmawidya, Yogatattwa, Daksinamurti, Skanda
Sariraka, Yoga Sikha, Ekaksara, Aksi, Awadhuta, Katha, Rudrahrdaya,
Yogakundalini, Pancabrahma, Pranagnihotra, Waraha, Kalisandarana, dan
Saraswatirahasya Upanisad.
-
Untuk jenis Yajur Weda Putih, terdiri dari:
Iswasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paramahamsa, Subata, Mantrika,
Niralambha, Trisikhi Brahmana, Mandala Brahmana, Adwanya-taraka, Pinggala,
Bhiksu, Turiyatita, Adhyatma, Tarasara, Yadnawalkya, Satyayani, dan Muktika
Upanisad. Semuanya berjumlah 19 Upanisad.
d)
Upanisad yang
tergolong jenis Atharwa Weda, yakni : Prasna, Munduka, Atharwasira,
Atharwashika, Brhajjabala, Nrsimhaatapini, Naradapariwrajaka, Sita, Sarabha,
Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya, Paramahamsa-pariwrajaka,
Annapurna,Surya, Atma, Pasupata, Parabrahmana,Tripuratapini, Dewi, Bahwana,
Ganapati, Mahawakya, Gopalatapini, Krisna, Hayagriwa, Dattatreya, dan Garuda
Upanisad. Semua berjumlah 31 Upanisad.
Kata Upanisad berarti duduk di bawah dekat seorang guru untuk menerima
ajaran-ajaran yang bersifat rahasia. Pokok dalam ajaran Upanisad berkisar pada
dua asas, yaitu: Brahman (asas alam semesta) sedangkan Atman (asas manusia).
Diantara Upanisad-upanisad itu ada 12 buah Upanisad yang dipandang paling
penting, yaitu Isa Upanisad, Kena Upanisad, Kartha Upanisad, Aitareya Upanisad,
Taitiriya Upanisad, Kausitaki Upanisad, dan Swetaswatara Upanisad.
Setelah kitab Sruti, maka
menyusulah kitab-kitab Smrti bagi sumber ajaran agama Hindu. Smrti artinya
ingatan. Sumber Smrti adalah juga ajaran Weda yang jumlahnya sangat banyak.
Dari semuanya itu dapat digolongkan ke dalam 2 kelompok, yaitu: 1) kelompok
Wedangga, 2) Kelompok Upaweda.
Kelompok Wedangga (Batang tubuh Weda) meliputi :
a.
Siksa : pengetahuan tentang
ucapan mantra Weda.
b.
Wyakarana :
pengetahuan tata bahasa.
c.
Chanda : lagu
(melagukan syair Weda)
d.
Nirukta: keterangan
tentang arti kata-kata dalam kitab suci Weda
e.
Jyotisa : ilmu
perbintangan
f.
Kalpa : kelompok
wedangga yang terbesar dan terpenting. Kitab Kalpa memiliki buku-buku pedoman
yang jumlahnya cukup banyak, beberapa di antaranya adalah:
-
Srauta Sutra
isinya terutama membahas tentang berbagai cara pemujaan pemeliharaan atau
melakukan penghormatan kepada Tryagni, yaitu: Daksinaagni, Ahawaniyaagni,
Grhapatyaagni.
-
Grhya Sutra isinya
memuat Samskara atau Sangaskara, adat- istiadat, kebiasaan yang berlaku bagi
kelompok tertentu yang harus diperhatikan mulai dari upacara Garbhadana sampai
upacara Antyesti.
-
Dharmasutra isinya
memuat aturan-aturan dasar yang mencakup bidang hokum, agama, kebiasaan atau
acara dan sista cara, kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap golongan
masyarakat. Penulis Dharmasutra yang akhirnya memunculkan kitab-kitab
Dharmasutra pada zaman dahulu adalah sebagai berikut :
1)
Bhagawan Manu
2)
Bhagawan Apastamba
3)
Bhagawan Bhaudayana
4)
Bhagawan Harita
5)
BhagawanWisnu
6)
Bhagawan Wasista
7)
Bhagawan Waikanasa
8)
Bhagawan Sankha
Likita
9)
Bhagawan Yajnawalkya
10)
Bhagawan Parasara
Adapun
kitab Dharma Sastra dari tiap-tiap yuga adalah sebagai berikut :
a. Bhagawan Manu
menulis Kitab Manawa Dharma Sastra untuk zaman Krtha Yuga
b.Bhagawan
Yajnawalkya menulis Gautama Dharma Sastra
untuk zaman Treta Yuga
c. Bhagawan Samkha
Likita menulis Kitab Samkhalikita Dharma Sastra untuk zaman Dwapara Yuga
d.
Bhagawan Parasara menulis Kitab Parasara
Dharma Sastra untuk zaman Kali Yuga
-
Sulwa Sutra isinya memuat peraturan-peraturan mengenai tat cara
membuat tempat peribadahan, seperti Pura, Candi, dan bangunan-bangunan lain
yang berhubungan dengan ilmu arsitektur. Ada beberapa kitab yang termasuk dalam
kelompok Sulwasutra, yaitu : Silpa Sastra, Kautuma, Wastuwidya, Manasana,
Wisnudharmotara-purana, dan sebagainya.
Kelompok Upaweda
meliputi :
a.
Ilmu obat-obatan
atau Ayurweda
b.
Ilmu musik atau
Gandharwaweda
c.
Ilmu kemiliteran
atau panahan yang disebut Dhanurweda
d.
Ilmu politik atau
ilmu pemerintahan atau tentang dunia yang juga sering disebut Arthasastra.
Selanjutnya tentang isi Veda dapat kita menganalisa
dengan menggunakan dasar-dasar pendekatan sesuai kitab Bhagavadgita, yakni
mengelompokkan isi Veda dalam 5 topik, sebagai berikut :
1.
Yang mengandung
ajaran Bhakti atau Bhaktiyoga.
2.
Yang mengandung
ajaran Karma atau Karmayoga.
3.
Yang mengandung
ajaran Jnana atau Jnanayoga.
4.
Yang mengandung
ajaran Rajayoga dan
5.
Yang mengandung
ajaran Vibhutiyoga atau ajaran yang bersifat mistis.
Mengingat mantra-mantra Veda sukar dipahami dan mungkin
kurang menarik minat bagi umat yang awam dibidang kerohanian, para Rsi menyusun
kitab-kitab sastra sebagai alat bantu memahami ajaran tersebut. Tentang hal
ini, Maharsi yang juga Adikavi Valmiki menyatakan dalam karya agung beliau
Ramayana, bahwa disusunnya mahaviracarita ini sebagai sarana untuk lebih
memudahkan umat memahami kitab suvi Veda. Demikian pula MahaRsi Vyasa atau
Krsnadvaipayana yang juga berabhiseka Vedavyasa menegaskan untuk memahami Veda
perlu dijelaskan melalui Itihasa dan Purana.
Cara
Mempelajari Weda
Menghayati Weda tidak cukup hanya
melihat aspek Sruti dan Smrtinya saja tetapi seluruh produk Smrti dan
Wibandha/nibhanda itupun perlu harus dihayati dan dikaji. Oleh karena itu
Bhagawan Wararuci (Kathyayana) didalam kitab Sarasamuccayanya seseorang
mempelajari pula Itihasa dan Purana karena mereka yang tidak menghayati
suplemen Weda itu tidaklah dapat menghayati Weda dengan baik.
itihasa Puranabhyam vedam
samupabrmhayet.
Bibhetyalpasrutaad vedo mamayam
praharisyati.
(Vayu Purana. 1.20)
Maksudnya:
Hendaknya memahami makna Veda melalui Itihasa dan Purana. Veda takut pada orang yang sedikit pengetahuannya. Veda berpikir bahwa ia akan memukulnya.
Hendaknya memahami makna Veda melalui Itihasa dan Purana. Veda takut pada orang yang sedikit pengetahuannya. Veda berpikir bahwa ia akan memukulnya.
sloka vayu purana di atas, pada jaman
kejayaan majapahit diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno termuat dalam kitab
Sarasamuccaya yang merupakan karya kompilasi dari mahà rsi Vararuci sebagai
berikut :
Ndan Sang Hyang Veda
paripùróakêna sira, maka sà dhana sang hyang Itihà sa,sang hyang Purà na, apan
atakut sang hyang Veda ring
wwang akêdik ajinya, ling nira, kamung hyang haywa tiki umà ra ri kami ling nira mangkana rakwa atakut.
Sarasamuccaya 39.
wwang akêdik ajinya, ling nira, kamung hyang haywa tiki umà ra ri kami ling nira mangkana rakwa atakut.
Sarasamuccaya 39.
(Veda itu hendaknya dipelajari dengan
sempurna melalui jalan mempelajari Itihà sa dan Purà na sebab Veda itu akan takut
kepada orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya:wahai tuan-tuan jangan
datang padaku,demikian konon sabdanya karena takut).
Sloka Vayu Purana yang dikutip di atas
diulang kembali dalam Sarasamuscaya 39 dan dijelaskan dalam bahasa Jawa Kuna.
Maksud Sloka Vayu Purana ini memberikan kita tuntunan dasar yang prinsip dalam
memahami ajaran suci Veda. Veda memang tidak bisa dipelajari dengan cara
sembarangan.
Sebelum terjun mempelajari Veda dibutuhkan
dasar-dasar pengetahuan awal sebagai medianya terlebih dahulu. Mungkin hal
inilah di Bali muncul istilah ayua wera. Maksud istilah ayua wera ini adalah
sebagai suatu rambu-rambu agar jangan orang sembarangan mempelajari Veda.
Sayangnya hal ini disalah artinya pada zaman dahulu.
Anak-anak dan pemuda pada masa lampau dilarang
belajar Veda. Sesungguhnya bukan demikian maksudnya. Jadinya, memahami arti dan
makna Veda tidak bisa langsung terjun mendalami Mantra-Mantranya. Ia harus
dipahami melalui Itihasa dan Purana terlebih dahulu. Jadinya ajaran suci Veda
bukanlah tidak boleh disebarkan. Apa lagi dalam Mantra Yajurveda XXVI.2
menyatakan bahwa hendaknya ajaran suci Veda ini disampaikan kepada seluruh umat
manusia, kepada Brahmana, Ksatria, Vaisya, Sudra bahkan kepada orang asing
sekalipun.
Jadi ajaran suci Veda ini bukanlah monopoli
suatu golongan tertentu saja. Meskipun Veda harus disebarkan kepada siapa saja,
tetapi Manawa Dharmasastra 11.114 menyatakan bahwa Veda itu adalah kekayaan
rohani hendaknyalah dipelihara dengan baik dan janganlah diajarkan kepada
mereka yang tidak percaya.
Dengan demikian Veda itu akan sangat kuat
memberikan pegangan kepada yang percaya. Demikian Sloka Manawa Dharmasastra itu
menegaskan. Jadinya yang boleh diajarkan Veda hanya mereka yang percaya.
Mengapa Veda harus dipahami melalui Itihasa
dan Purana tidak langsung pada Mantra Mantra Veda? Menurut Swami Siwananda
dalam bukunya All About Hinduism
menyatakan bahwa Mantra-Mantra Veda tergolong Prabhu Samhita sedangkan Sloka
Itihasa dan Purana tergolong Suhrita Samhita.
Prabhu Samhita artinya syair-syair suci Veda
itu penuh wibawa tidak begitu mudah menjangkaunya. Sedangkan syair-syair Sloka
Itihasa dan Purana disebut Suhrita Samhita artinya kumpulan syair yang lebih
ramah sehingga lebih mudah memahaminya.
Dengan demikian weda dipelajari pertama-tama
dari cerita-cerita seperti Mahabharata, Ramayana, dan purana-purana. Dalam
tradisi nusantara yaitu belajar etika dan agama dari dongeng, dogeng mendongeng
ini banyak diterapkan di berbagai belahan dunia, salah satu yang terkenal yaitu
kisah 1001 malam, kisah ini konon bersumberkan ajaran veda yaitu panca tantra
yang kemudian di nusantara digubah oleh leluhur kita menjadi kisah tantri
kamandaka.
Kebijaksanaan dan kebahagiaan akan dapat
dicapai bila seseorang telah benar-benar menghayati Weda sebagai kenyataan.
Dari Manusmrti II. 12. telah menegaskan bahwa kebajikan yang merupakan hakikat
daripada Dharma diwujudkan didalam dunia ini berdasarkan norma yang tertera dan
tersirat didalam Sruti, Smrti, Sadacara, Sila dan Atmanastusti dan karena itu
didalam menulis tingkah laku manusia, lembaga-lembaga Hindu dalam lingkungan
masyarakat Hindu tidak dapat lepas dari norma-norma sebagai mana terdapat
didalam berbagai sumber itu.
Tingkah laku manusia bermasyarakat ditandai
oleh berbagai jenis menurut pribadi maupun secara bermasyarakat, memiliki
menentukan dimana kita akan memperoleh sumber hukum yang dapat dipergunakan
didalam mencari materinya.
Sebagai gambaran perbandingan yang mudah.
Wedasruti adalah merupakan UUD agama Hindu sedangkan Wedasmrti adalah UUP agama
Hin du. Sebagai undang-undang agama,
materi isinya sangat luas, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh
karena itu, ciri-ciri dari tiap-tiap jenis buku dengan pokok permasalahan yang
menjadi dasar isi dari pada kitab itu harus dihayati. Sebagai halnya seorang
ahli hukum yang hendak mencari pasal mengenai bidang hukum perdagangan ia harus
mencari didalam kitab hukum Dagang dan tidak didalam kitab hukum agama atau
syariat agama Hindu harus dicari didalam Dharmasastra sedangkan untuk tata laksana
ritual harus dicari didalam kitab-kitab Brahmana, Grhyasutra, Srautasutra dan
lain-lainnya.
Inilah yang harus dihayati dan dipegang
sebagai pedoman didalam mengkaji segala permasalahan hukum dan ajaran agama.
Memang harus disadari bahwa materinya kadang-kadang overlaping antara satu buku
dengan buku yang lain. Kadang-kadang terdapat pula kekaburan isi yang sulit
dipahami oleh orang-orang awam. Akan lebih sulit lagi kalau sampai didalam
pelaksanaan ajaran agama itu tidak dapat perumusan-perumusan yang tegas
sehingga tidaklah mudah bagi seseorang menentukan mana yang benar dan salah
menurut ajaran Hindu.
Weda Sebagai
Sumber Ajaran Agama Hindu
Satu-satunya pemikiran yang secara
tradisional yang kita miliki adalah yang mengatakan bahwa Veda adalah kitab
suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hindu maka ajaran Veda diyakini dan
dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi
yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu.
Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkan
(mewahyukan) adalah Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Suci. Apapun yang diturunkan
sebagai ajaran-Nya kepada umat manusia adalah ajaran suci terlebih lagi bahwa
isinya itu memberikan petunjuk atau ajaran untuk hidup suci.
Sebagai kitab suci, Veda adalah sumber ajaran
agama Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran agama Hindu. Ajaran Veda dikutip
kembali dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa
berikutnya. Dari kitab Veda (Sruti) mengalirlah ajaran Veda pada kitab-kitab
Smrti, Itihasa, Purana, kitab-kitab Agama, Tantra, Darsana dan Tattwa-tattwa
yang kita warisi di Indonesia. Swami Sivananda menyatakan : ”Veda adalah kitab
tertua dari perpustakaan umat manusia. Kebenaran yang terkandung dalam semua
agama berasal dari Veda dan akhirnya kembali pada Veda. Veda adalah sumber
ajaran agama, sumber tertinggi dari semua sastra agama berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa. Veda diwahyukan pada permulaan adanya pengertia waktu”.
Veda mengandung ajaran yang memberikan
keselamatan di dunia ini dan di akhirat nanti. Veda menuntun tindakan umat
manusia sejak lahir sampai pada nafasnya yang terakhir. Veda tidak terbatas
pada tuntunan hidup individual, tetapi juga dalam hidup bermasyarakat. Bagaimana hendaknya masyarakat bersikap dan bertindak,
tugas-tugas aparatur pemerintah melaksanakan tugasnya, bagaimana tingkah laku
seorang ibu. Segala tuntunan hidup ditunjukkan kepada kita terhimpun dalam
kitab suci Veda.
Saran
Berdasarkan
ulasan tersebut, maka penulis menyarankan kepada :
- Dosen pengampu mata kuliah Agama Hindu Universitas Mahasaraswati Denpasar, secara prinsip pengenalan Weda sebagai kitab suci agama Hindu sangat penting bagi mahasiswa, terutama mahasiswa yang kelak akan berkecimpung pada bidang pendidikan atau profesi guru. Menerapkan bidang ilmu yang ditekuni oleh seorang guru dengan berasaskan ajaran Weda akan memberi kontribusi yang positif bagi perkembangan mental, moral, dan intelektual peserta didik.
- Pembaca, melalui makalah ini pembaca agar bisa lebih selektif dalam memahami ajaran-ajaran ataupun nilai moril yang terkandung dalam ajaran Weda sebagai landasan dalam mengambil sikap positif berkehidupan. Dengan dorongan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Weda, maka pembaca mampu mengamalkan ajaran-ajaran Weda dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus menyimpang dari rel dharma.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.indoforum.org/30-10-2011
http://www.hukumhindu.com/2011/03/1182/30-10-2011
Ida Bagus Sudirga, dkk. 2003. Agama
Hindu Untuk SMU Kelas I, Jilid I. Jakarta : Ganeca Exact
"SEMOGA PIKIRAN YANG BAIK DATANG DARI SEGALA PENJURU"